Skandal SIM Instan di Satpas Polres Tuban: Hukum Dijual, Integritas Dipertaruhkan


 


Tuban, 8 Oktober 2025
Surat Izin Mengemudi (SIM) seharusnya menjadi bukti legalitas dan kedewasaan seseorang dalam berkendara. Namun, di Satpas Polres Tuban, simbol tanggung jawab itu justru berubah menjadi komoditas yang bisa dibeli dengan harga tertentu, tanpa proses ujian yang sah. Fakta-fakta yang terungkap dalam investigasi menunjukkan bahwa praktik kotor ini diduga dijalankan dari dalam tubuh institusi itu sendiri.

Dugaan Jalur Kilat di Balik Meja TU

Berdasarkan temuan Tim Tinta Hukum Investigasi, seorang pegawai Tata Usaha (TU) bernama Hermin disebut sebagai penghubung utama dalam praktik pengurusan SIM C instan tanpa tes.
Modusnya sederhana, tapi sistematis.
Pemohon hanya perlu mengirim foto KTP melalui WhatsApp atau menyerahkan langsung ke Hermin, lalu datang ke Satpas hanya untuk foto formalitas. Setelah itu, cukup membayar antara Rp700 ribu hingga Rp980 ribu, SIM langsung jadi — tanpa menyentuh ruang ujian teori maupun praktik.

Urus SIM seperti pesan makanan cepat saji,” ujar seorang narasumber yang meminta namanya disamarkan.
“Datang, foto, bayar, selesai. Semua diatur dari dalam.”

Kesaksian Warga: ‘Bayar Rp700 Ribu, Ambil SIM di Sebelah WC Umum’

Kesaksian langsung datang dari Iko, warga Jatirogo, yang pernah mengurus SIM C lewat jalur kilat tersebut pada 12 Desember 2019.

“Saya cuma kirim KTP lewat WhatsApp. Disuruh datang buat foto. Habis itu ngopi, lalu dipanggil ambil SIM di sebelah WC umum. Bayarnya Rp700 ribu. Nggak ada tes apa pun,” ujarnya kepada tim investigasi.

Pola yang sama dialami oleh Miftahul Ilham Mahendra pada 4 November 2021, yang menyerahkan berkas langsung kepada Hermin dan mendapatkan SIM tanpa melalui satu pun ujian.
Saat Iko mencoba menanyakan kembali pada Agustus 2025, Hermin dengan santai menjawab,

“Sekarang Rp980 ribu.”

Kenaikan harga itu bukan semata inflasi ekonomi — melainkan inflasi moral dan degradasi etika di institusi penegak hukum.

Kasat Lantas Diduga Bungkam, Media Justru Diblokir

Sebagai media yang menjunjung asas keberimbangan, tim investigasi telah mengirimkan permintaan klarifikasi resmi kepada Kasat Lantas Polres Tuban, AKP Moh. Imam Reza, S.T.K., S.I.K., M.H.
Namun, alih-alih memberikan jawaban, Kasat Lantas justru memilih diam, bahkan memblokir nomor WhatsApp tim media.

“Kami kirim pesan sopan menanyakan dugaan pungli SIM. Tidak dijawab. Kami hubungi ulang, tetap tidak merespons. Akhirnya nomor media kami diblokir oleh AKP Moh. Imam Reza,” jelas tim investigasi.

Sementara Hermin, pegawai TU yang disebut terlibat langsung, juga menolak memberikan keterangan, seolah-olah kebisuan adalah bentuk perlindungan diri.

Diamnya aparat atas tuduhan serius seperti ini bukan sekadar sikap pasif — melainkan penolakan terhadap transparansi publik, sebuah nilai yang semestinya dijunjung tinggi oleh institusi penegak hukum.

Bahaya Nyata: SIM Instan, Nyawa Jadi Taruhan

Dampak dari praktik seperti ini tidak bisa dianggap sepele. SIM adalah dokumen negara yang berkaitan langsung dengan keselamatan masyarakat. Jika seseorang bisa mendapatkannya tanpa ujian, berapa banyak pengendara tanpa kemampuan layak kini bebas melaju di jalanan?
Berapa banyak kecelakaan yang terjadi karena kelalaian pengendara “bayaran”?

Praktik jual beli SIM bukan sekadar pungli administratif, melainkan pengkhianatan terhadap nyawa rakyat. Ketika hukum dijadikan alat transaksi, maka keadilan tak lagi berdiri — ia dipaksa berlutut di hadapan uang.

Tanggung Jawab Polri Dipertaruhkan

Kasus ini bukan hanya soal oknum pegawai atau satuan lalu lintas tertentu. Ini adalah ujian bagi integritas Polri secara menyeluruh. Jika pimpinan Polres Tuban dan Polda Jawa Timur tidak mengambil langkah tegas, maka kepercayaan publik terhadap Polri akan runtuh semakin dalam.

Karena ketika aparat memilih diam, publik akan menilai bahwa keadilan di negeri ini tidak mati secara alami — tetapi sengaja dibunuh oleh mereka yang seharusnya menjaganya.

Dan bila rakyat sudah kehilangan kepercayaan, tidak ada pangkat, jabatan, atau seragam apa pun yang mampu mengembalikannya.

Reporter: Tim Investigasi Tinta Hukum

Lebih baru Lebih lama