BALI – MATAJATIM'NEWS-COM
Polemik pengelolaan kawasan konservasi kembali mencuat setelah sebuah pabrik material konstruksi yang diduga milik warga negara Rusia berdiri di area Taman Hutan Raya (Tahura) dan hutan mangrove Bali. Ironisnya, sebagian lahan yang sejatinya berstatus hutan negara justru telah memiliki sertifikat hak atas tanah.
Temuan mengejutkan ini terungkap dalam inspeksi mendadak yang dilakukan Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) DPRD Bali pada Rabu (18/9/2025).
“Sejak saya duduk di DPRD tahun 2004, baru kali ini saya melihat ada sertifikat di kawasan hutan negara. Ini jelas janggal,” ujar Sekretaris Pansus TRAP, Dewa Rai.
Ketua Pansus TRAP, I Made Supartha, menyoroti lemahnya penegakan aturan oleh Satpol PP Bali. Ia menilai aparat terkesan baru bereaksi setelah DPRD melakukan tekanan.
“Satpol PP seharusnya menjadi garda terdepan menjaga kawasan strategis, bukan menunggu didesak baru bertindak,” katanya.
Dampak Lingkungan
Alih fungsi lahan Tahura yang diurug dan dipadati bangunan ilegal dinilai memperparah risiko bencana. Jalur resapan air yang tertutup menyebabkan banjir bandang kian sulit terkendali, apalagi saat air laut naik.
“Banjir besar kemarin tidak bisa dilepaskan dari rusaknya kawasan konservasi. Tahura yang seharusnya menjadi penyangga malah dijadikan kawasan industri,” tegas Supartha.
Langkah DPRD
Pansus TRAP menegaskan akan mengawal persoalan ini hingga tuntas. Mereka meminta pemerintah provinsi segera membatalkan sertifikat yang terbit di kawasan hutan negara dan menindak tegas pelaku perusakan lingkungan.
“Kami tidak akan tinggal diam. Hutan negara harus dikembalikan fungsinya, bukan dijadikan komoditas,” pungkas Supartha.
Kasus ini menambah panjang daftar persoalan tata ruang dan lemahnya pengawasan aset negara di Bali. Publik kini menunggu sikap tegas pemerintah pusat maupun aparat penegak hukum untuk memastikan kawasan konservasi tetap utuh dan tidak berubah menjadi lahan bisnis ilegal.
Redaksi