TUBAN – MATAJATIMNEWS.CO
Di balik tembok Samsat Jatirogo, jargon pelayanan publik hanya tinggal poster yang memudar di dinding. Yang hidup justru praktik transaksional yang mencabik kepercayaan rakyat. Seolah-olah negara sudah diperdagangkan lewat meja aparatnya sendiri.
Seorang warga Desa Sidomukti, Kecamatan Kenduruan, bernama Tyok, menjadi korban permainan kotor ini. Niatnya sederhana: membayar pajak motor Honda Vario yang telat setahun dan mengganti plat nomor. Namun, bukannya mengikuti tarif resmi yang berkisar Rp400–600 ribu, ia justru dipaksa membayar Rp1,2 juta oleh seorang pegawai Samsat bernama Dandi
Keesokan harinya, saat Tyok mencoba protes, angka itu mendadak “disko” menjadi Rp1 juta. Bayangkan—uang rakyat yang seharusnya masuk kas negara justru diperlakukan layaknya barang obral di pasar loak. Hukum yang seharusnya tegak berubah jadi dagangan murahan di balik meja pelayanan.
Negara Dipermalukan oleh Oknum Kecil
Apa arti papan pengumuman tarif resmi di kantor Samsat jika pegawainya sendiri bebas melipat aturan? Rakyat dicecar ancaman denda jika telat bayar pajak, tapi aparat justru bebas menipu dengan angka yang tak masuk akal.
Ironis, negara yang menuntut kepatuhan justru dipermalukan oleh ulah oknum kecil. Padahal jelas, Pasal 368 KUHP menyebut praktik pemerasan adalah tindak pidana. Lebih tegas lagi, UU Tipikor Pasal 12 huruf e mengancam hukuman 4 hingga 20 tahun penjara bagi pegawai negeri yang menerima pembayaran tak sah.
Pungli: Virus yang Membunuh Kepercayaan
Ini bukan sekadar soal nominal. Bukan soal Tyok yang dipalak sejuta. Ini tentang wajah negara yang dipermainkan. Tentang rakyat yang dipaksa percaya pada aturan, sementara aparat justru menginjak aturan itu sendiri.
Setiap pungli yang dibiarkan adalah virus. Ia merusak pelayanan publik, menggerogoti kepercayaan, hingga membuat rakyat apatis terhadap negara. Dan ketika rakyat sudah muak, yang runtuh bukan hanya Samsat Jatirogo—tetapi wibawa hukum Indonesia itu sendiri.
Pertanyaan yang Harus Dijawab
Apakah Samsat Jatirogo masih pantas disebut kantor pelayanan, atau sebaiknya dipasang plang baru bertuliskan “Pasar Gelap Tarif Liar”?
Apakah aparat penegak hukum berani bergerak, atau justru ikut menutup mata?
Dan akhirnya—siapa sebenarnya yang lebih layak disebut melanggar hukum: warga yang telat membayar pajak, atau aparat yang menjadikan hukum sebagai komoditas murahan
Saat kami konfirmasi kepada Dendi selaku orang dalam Samsat akan tetapi respon wa kan tidak ditanggapi ketika kami menelpon wa kami pun diabaikan sebagai jurnalis
Sampai berita ini dinaikkan belum ada tanggapan dari Kapolres Tuban maka dengan ini kami akan berkoordinasi dengan Polres Tuban.
Tim investigasi