JAKARTA, MATAJATIMNEWS.COM-Di tengah rencana pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk melunasi utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh kepada China, muncul seruan keras dari kalangan pakar agar langkah tersebut tidak dilakukan tanpa terlebih dahulu menuntaskan persoalan hukum yang membelit proyek tersebut.
Pakar ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy menilai, pembayaran utang tanpa membuka dugaan korupsi dan pembengkakan biaya di proyek kereta cepat itu justru dapat mencederai prinsip good governance dan akuntabilitas publik.
“Jika pemerintah ingin menjaga kredibilitas di mata rakyat dan dunia, jangan hanya fokus membayar utang. Bongkar dulu potensi korupsi dan penyimpangan kebijakan yang membuat proyek ini membengkak hingga ratusan triliun,” tegas Noorsy kepada Inilah.com, Kamis (6/11/2025).
Menurutnya, proyek Kereta Whoosh yang dibiayai utang sekitar US$7,27 miliar atau setara Rp120 triliun menjadi simbol kebijakan ekonomi era Presiden Jokowi yang sarat kepentingan politik dan minim transparansi.
Ia mengingatkan, pemerintah baru tidak boleh terjebak pada solusi pragmatis. Yang dibutuhkan adalah audit hukum dan finansial menyeluruh terhadap seluruh aspek proyek — mulai dari perencanaan, pembiayaan, hingga realisasi fisik di lapangan.
“Kusutnya kebijakan ini sudah diakui sendiri oleh pejabat tinggi negara. Ketika Luhut Binsar Pandjaitan menyebut ada yang ‘busuk’ dalam prosesnya, itu sinyal kuat bahwa audit menyeluruh wajib dilakukan,” ujar Noorsy.
Audit Menyeluruh dan Transparansi Publik
Noorsy menekankan perlunya investigasi hukum dan audit struktural-fungsional agar publik mengetahui ke mana larinya dana jumbo proyek yang semestinya dikelola secara efisien.
Selain itu, ia menyoroti faktor geopolitik di balik proyek ini, yang merupakan bagian dari inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) milik China.
“Karena proyek ini bagian dari BRI, China tentu punya kepentingan menjaga reputasinya. Tapi itu justru menjadi alasan kuat bagi Indonesia untuk menegaskan kedaulatannya — bukan menutup-nutupi masalah,” jelasnya.
Mahfud Md: Biaya Kereta Whoosh Tiga Kali Lipat Lebih Mahal dari China
Sebelumnya, mantan Menkopolhukam Mahfud Md juga menyoroti adanya indikasi mark-up besar dalam proyek ini. Ia membandingkan, biaya pembangunan kereta cepat di Indonesia mencapai US$52 juta per kilometer, sedangkan di China hanya sekitar US$17–18 juta per kilometer.
“Ini harus diselidiki. Kalau di sini bisa tiga kali lipat lebih mahal, pasti ada sesuatu yang tidak wajar,” ujar Mahfud melalui kanal YouTube Mahfud MD Official.
Mahfud juga mengingatkan bahwa keputusan beralih dari penawaran Jepang ke China membuat Indonesia harus menanggung bunga pinjaman jauh lebih tinggi.
“Awalnya bunga hanya 0,1 persen dengan Jepang, tapi ketika pindah ke China jadi 2 persen, lalu naik lagi ke 3,4 persen. Itu yang bikin beban keuangan proyek makin berat,” ungkapnya.
Pertaruhan Kredibilitas Pemerintahan Baru
Dengan total utang mencapai Rp4 triliun yang jatuh tempo tahun 2025, proyek Whoosh kini menjadi ujian awal bagi pemerintahan Prabowo–Gibran.
Menurut Noorsy, langkah bijak bukan sekadar membayar kewajiban finansial, tetapi menegakkan hukum agar publik percaya bahwa uang negara dikelola secara jujur dan profesional.
“Bayar utang itu kewajiban, tapi menegakkan kebenaran adalah kehormatan. Pemerintah harus memilih keduanya,” pungkas Noorsy.
