MAKASSAR||MATAJATIMNEWS.COM
Sebidang tanah seluas 16,4 hektare di kawasan Metro Tanjung Bunga, Makassar, mendadak menjadi sorotan nasional. Bukan karena pembangunan megaproyek baru, melainkan karena di atas tanah itu kini terbuka perang senyap antara mantan Wakil Presiden RI HM Jusuf Kalla (JK) dan perusahaan pengembang besar yang terafiliasi dengan Lippo Group, PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD).
Sengketa ini seolah membongkar kembali wajah gelap penguasaan tanah di negeri ini — di mana bahkan seorang mantan wapres pun bisa menjadi korban penyerobotan lahan.
“Kalau tanah milik Jusuf Kalla saja bisa diambil, bagaimana nasib rakyat kecil yang tak punya kekuatan hukum?” demikian keluh banyak warganet di linimasa.
Rekayasa Sertifikat dan Dugaan Pemalsuan Dokumen
Kemarahan JK memuncak ketika mengetahui adanya dugaan rekayasa sertifikat di atas tanah miliknya. Ia menuding GMTD melakukan manipulasi administrasi untuk menguasai lahan tersebut. Kasus ini tak hanya memantik simpati publik, tetapi juga mengguncang kepercayaan terhadap sistem pertanahan nasional.
Pakar hukum pidana Universitas Bung Karno, Hudi Yusuf, menilai insiden ini memperlihatkan betapa kuatnya jaringan mafia tanah di Indonesia.
“Mafia tanah tidak melihat siapa korbannya. Kalau mantan wapres saja bisa diperlakukan seperti ini, rakyat kecil apalagi,” ujarnya Kamis (6/11/2025).
Pendapat senada datang dari pakar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Ia menegaskan, kasus tersebut bukan sekadar sengketa perdata, melainkan murni tindak pidana.
“Penyerobotan tanah tanpa hak itu pidana. Apalagi jika terbukti ada sertifikat ganda, berarti terjadi pemalsuan dokumen dan penyalahgunaan wewenang,” tegasnya.
Modus Lama, Wajah Baru
Menurut Fickar, kasus ini hanyalah satu dari banyak contoh bagaimana mafia tanah bekerja.
“Biasanya mereka membuat sertifikat palsu dengan melibatkan oknum aparat pertanahan. Kalau di satu lahan bisa keluar dua sertifikat, berarti ada permainan di balik meja,” ujarnya.
Ia menambahkan, sistem birokrasi pertanahan yang rumit membuka celah besar bagi penyimpangan.
“Proses pengurusan tanah yang berbelit membuat masyarakat kecil kalah cepat dari pihak yang punya akses dan uang,” tambahnya.
Pola Berulang: Dari Makassar, Kemang, hingga Meikarta
Fenomena serupa sebelumnya juga menyeret nama Lippo Group dalam berbagai polemik tanah di sejumlah daerah. Di Jakarta Selatan, konflik di kawasan Kemang bahkan sempat berujung bentrokan bersenjata antara warga dan aparat. Di Lippo Karawaci, Satgas BLBI pernah mengambil alih lahan senilai Rp1,3 triliun yang disinyalir dimanfaatkan tanpa izin negara.
“Polanya selalu sama,” kata Hudi Yusuf. “Korporasi besar memanfaatkan celah administrasi, sementara birokrasi kita lemah dan kadang tidak netral.”
Ia juga menyebut, kasus seperti Meikarta menjadi cermin betapa lemahnya perlindungan terhadap masyarakat kecil.
“Banyak warga yang lahannya belum dibayar, banyak pembeli yang menuntut uang kembali. Ini bukti ketidakdisiplinan sistem administrasi kita,” ujarnya.
Alarm Nasional untuk Pemerintah
Kasus Jusuf Kalla kini menjadi simbol peringatan keras: jika pejabat setingkat wapres bisa dirugikan, maka rakyat kecil jelas lebih tidak berdaya.
Abdul Fickar menilai solusi utama terletak pada dua hal — penyederhanaan birokrasi dan penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu.
“Permudah rakyat dalam mengurus tanahnya. Sementara bagi mafia tanah, hukum harus sekeras mungkin — bahkan seumur hidup jika perlu,” katanya.
Hudi Yusuf menambahkan, negara tidak boleh tunduk pada tekanan pengusaha besar.
“Pemerintah harus menjadi penjaga keadilan, bukan alat para pemodal. Jika tanah wapres saja tidak aman, artinya sistem agraria kita sedang sakit,” ujarnya menutup pembicaraan.
Refleksi: Negara di Persimpangan Tanah
Kasus ini bukan hanya persoalan sengketa 16 hektare tanah, tetapi juga soal kedaulatan hukum dan moral negara. Tanah — simbol kehidupan dan martabat rakyat — kini menjadi ajang perebutan oleh mereka yang paling kuat.
Jika pemerintah gagal menegakkan keadilan dalam kasus ini, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negeri di mana rakyat kehilangan hak atas tanahnya sendiri.
Penulis redaksi
